Selasa, 01 Mei 2012


BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Hukum Adat Waris
            Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkn barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada turunannya. Sebelum mendalami hukum adat waris terlebih dahulu dijelaskan tentang hukum adat dan hukum waris. Ada beberapa pendapat para ahli yang memuat pengertian dari hukum adat yaitu :
1.      Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang disatu pihak mempunyai sanksi (hukum) dan dipihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasi (adat). Tingkah laku positif memiliki makna hukum yang dinyatakan berlaku disini dan sekarang. Sedangkan sanksi yang dimaksud adalah reaksi (konsekuensi) dari pihak lain atas suatu pelanggaran terhadap norma (hukum). Sedang kodifikasi dapat berarti sebagai berikut.
2.      Ter Haar hukum adat adalah aturan-aturan yang mencakup seluruh peraturan-peraturan yang menjelma di dalam keputusan-keputusan para pejabat hukum yang mempunyai kewibawaan dan pengaruh
3.      Soejono soekanto Hukum adat merupakan hukum kebiasaan, namun kebiasaan yang mempunyai akibat hukum yang tegas.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum adat adalah keseluruhan kaidah-kaidah atau norma baik tertulis maupun tidak tertulis yang berasal dari adat istiadat atau kebiasaan masyarakat Indonesia untuk mengatur tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat, terhadap yang melanggarnya dapat dijatuhi sanksi
Hukum Waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga dan masyarakat yang lebih berhak. Hukum Waris yang berlaku di Indonesia ada tiga yakni: Hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Perdata. Setiap daerah memiliki hukum yang berbeda-beda sesuai dengan sistem kekerababatan yang mereka anut.
Ada beberapa pendapat mengenai pengertian hukum adat waris diantaranya :
1.      Prof. Dr. R. SOEPOMO, S.H., dalam bukunya BAB-BAB TENTANG HUKUM ADAT merumuskan Hukum Adat Waris sebagai Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta meng-over-kan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak terwujud benda (immaterielle goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya”.
2.      Prof. Mr. BAREND TER HAAR B.Zn., dalam bukunya BEGINSELEN EN STELSEL VAN HET ADATRECHT merumuskan Hukum adat waris meliputi peraturan-peraturan hukum yang bersangkutan dengan proses yang sangat mengesankan serta yang akan selalu berjalan tentang penerusan dan peng-over-an kekayaan materiil dan immaterial dari suatu generasi kepada generasi berikutnya”. 
3.      WIRJONO PRODJODIKORO, S.H., di dalam bukunya HUKUM WARISAN DI INDONESIA  memberikan pengertian waris sebagai berikut: “warisan itu adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”.
4.      Prof. H. HILMAN HADIKUSUMA, S.H., dalam bukunya PENGANTAR ILMU HUKUM ADAT INDONESIA  menyebutkan Hukum adat waris adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur bagaimana harta peninggalan atau harta warisan diteruskan atau dibagi-bagi dari pewaris kepada para waris dari generasi ke generasi berikutnya.
Untuk lebih memperjelas tentang pengertian Hukum Waris Adat dapat dilihat pada bagan dibawah ini.


Pada dasarnya proses peralihannya atau peng-overan-nya sendiri sudah dapat dimulai semasa pemilik harta kekayaan itu sendiri masih hidup serta proses itu selanjutnya berjalan terus sehingga keturunannya itu masing-masing menjadi keluarga-keluarga baru yang berdiri sendiri (MENTAS atau MENCAR-Jawa) yang kelak pada waktunya mendapat giliran juga untuk meneruskan proses tersebut kepada generasi (keturunannya) yang berikutnya juga.
2.2. Sistem Kewarisan Adat
Hukum Waris Adat mengatur proses penerusan dan peralihan harta, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari pewaris pada waktu masih hidup dan atau setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Adapun sifat Hukum Waris Adat secara global dapat diperbandingkan dengan sifat atau prinsip hukum waris yang berlaku di Indonesia, di antaranya adalah :
  1. Harta warisan dalam sistem Hukum Adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak dapat terbagi atau dapat terbagi tetapi menurut jenis macamnya dan kepentingan para ahli waris; sedangkan menurut sistem hukum barat dan hukum Islam harta warisan dihitung sebagai kesatuan yang dapat dinilai dengan uang.
  2. Dalam Hukum Waris Adat tidak mengenal asas legitieme portie atau bagian mutlak, sebagaimana diatur dalam hukum waris barat dan hukum waris Islam.
  3. Hukum Waris Adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan segera dibagikan.
Prinsip garis keturunan dalam hukum waris adat yaitu prinsip patrilinear, matrilinear, dan prinsip bilateral atau parental. Berikut bagan tentang prinsip-prinsip hukum waris


a.       Prinsip patrilinear, dalam prinsip ini, kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam hukum waris adat sangat kuat. Misalnya, pada masyarakat Batak, yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki saja
b.      Prinsip Matrilineal, kedudukan dan pengaruh pihak perempuan dalam hukum waris adalah sangat kuat. Misalnya, pada masyarakat Minangkabau, dimana yang menjadi ahli waris adalah anak perempuan.
c.       Prinsip bilateral atau parental, didalam prinsip ini, kedudukan anak laki-laki dan kedudukan anak perempuan dalam hukum waris adat adalah sama dan sejajar. Demikian, baik anak laki-laki maupun anak perempuan merupakan ahli waris dari harta peninggalan orang tua mereka. Misalnya : para masyarakat Jawa dan Kalimantan.
 Berdasarkan ketentuan Hukum Adat pada prinsipnya asas hukum waris itu penting , karena asas-asas yang ada selalu dijadikan pegangan dalam penyelesaian pewarisan. Adapun berbagai asas itu di antaranya seperti asas ketuhanan dan pengendalian diri, kesamaan dan kebersamaan hak, kerukunan dan kekeluargaan, musyawarah dan mufakat, serta  keadilan dan parimirma. Jika dicermati berbagai asas tersebut sangat sesuai dan jiwai oleh kelima sila yang termuat dalam dasar negara RI, yaitu Pancasila. Disamping prinsip-prinsip garis keturunan diatas, hukum waris adat mengenal adanya tiga sistem kewarisan, diantaranya : sistem kolektif, mayorat dan individual. Berikut bagan tentang sistem Pewarisan adat


  1. Sistem Kolektif yaitu sistem kewarisan dimana para ahli waris mewarisi harta peninggalan pewaris secara bersama-sama (kolektif). Hal ini terjadi karena harta peninggalan yang diwarisi itu merupakan harta turun temurun dan tidak dapat dibagi pemilikannya kepada masing-masing ahli raris. Dengan kata lain, harta peninggalan itu tidak dapat dimiliki oleh seorang saja, melainkan harus dimiliki secara bersama-sama. Misalnya : harta pusaka di Minangkabau, tanah dati di Semenanjung Hitu (Ambon).
  2. Sistem Mayorat yaitu sistem kewarisan dimana harta peninggalan pewaris hanya diwarisi oleh seorang anak tertua. Sistem mayoret ini dapat dibagi atas 2 bagian yaitu,
a.       Mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua (keturunan laki-laki) yang ahli waris tunggal dari si pewaris. Misalnya pada masyarakat Lampung dan Bali
b.      Mayorat perempuan yaitu apabila anak perempuan tertua yang erupakan ahli waris tunggal dari si pewaris. Misalnya pada masyarakat suku Semendo di Sumatra Selatan, suku Dayak Landak dan suku Dayak Tayan di Kalimantan Barat (anak pangkalan).
3.      Sistem Individual, Berdasarkan prinsip sistem ini, maka setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Pada umumnya sistem ini dijalankan di masyarakat yang menganut sistem kemasyarakatan parental.
2.3. Harta Waris
            Harta warisan adalah keseluruhan harta kekayaan yang berupa aktiva dan pasiva yang ditinggalkan oleh si pewaris setelah dikurangi dengan semua hutangnya. Perlu kiranya diperhatikan juga bahwasanya harta peninggalan itu tidak selamanya terdiri atas bagian-bagian yang menguntungkan para akhli waris saja tetapi kadang-kadang terdapat pula bagian-bagian yang merupakan beban kepada para akhli waris yaitu “hutang piutang” dari yang meninggal dunia yang masih belum dilunasi. Adapu jenis-jenis harta warisan adalah
1.      Harta Peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi
                 Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi ini dapat dibedakan sebagai berikut :
a.       Harta Pusaka Tinggi, yaitu harta turun temurun dari beberapa generasi.pengurusannya dikuasai oleh Kepala Kesatuan Kerabat yang terbesar yang disebut penghulu andiko
b.      Harta pusaka rendah, yaitu harta yang turun-temurun dari suatu generasi, kadang-kadang harta ini disebut juga dengan harta sako. Misalnya, bilamana ada seorang perempuan yang meninggal dunia kemudian meninggalkan sepetak sawah, maka sawah tersebut tidak dapat dibagi-bagi oleh pewarisnya
c.       Harta pencaharian, yaitu harta yang diperoleh dari hasil usaha sendiri.
2.      Harta Peninggalan yang Dibagi-bagi
          Pembagian harta peninggalan adalah suatu perbuatan daripada para ahli waris secara bersama-sama. Pada masyarakat hukum adat bilateral biasanya harta warisan dibagi pada ahli warisnya. Anak laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama atas suatu harta peninggalan.sistem ini paling banyak dianut oleh banyak daerah adat di Indonesia. Seperti, Jawa, Madura, Sumatra Selatan, Aceh, Kalimantan, Sulawesi, dan lain-lain. Berikut bagai tentang macam-macam harta warisan

Selain dari jenis-jenis harta warisan diatas secara khusus jenis-jenis barang-barang warisan adalah sebagai berikut :
a.    Barang-barang Kerabat atau Family
Barang-barang ini biasanya dibawa kedalam harta kekayaan keluarga oleh isteri atau suami sebagai barang asal yang diperolehnya secara warisan dari orang tuanya dan orang tuanya ini memperoleh barang-barang itu dulu juga secara warisan dan begitu seterusnya, pokoknya barang-barang itu sudah turun temurun menjadi barang warisan.
Apabila sipeninggal warisan tidak mempunyai anak maka barang-barang family demikian ini, kembali lagi kepada family yang bersangkutan artinya barang asal dari family suami kembali kepada family suami dan barang asal dari family isteri kembali kepada family isteri.
Adapun maksud dari ketentuan ini adalah agar supaya barang-barang itu tetap menjadi harta milik family yang bersangkutan dan tidak hilang, artinya berpindah menjadi milik family lain. Kalau ada anak maka barang-barang dimaksud akan diwaris oleh anak-anak tersebut.
b.      Barang-barang Pusaka yang Keramat
Barang-barang pusaka yang keramat seperti keris, tumbak, rencong dan lain sebagainya yang di anggap dapat membawa kebahagiaan kepada keluarga tidak boleh disamakan dengan barang-barang biasa rumah tangga lain-lainnya.  Barang-barang keramat ini kadang-kadang terikat kepada kualitas yang memegangnya misalnya barang-barang keramat dari Keraton Kasepuhan di Cirebon akan tetapi selalu diwaris oleh yang akan mengganti menjadi Sultas Sepuh.
c.       Barang-barang Somah atau Barang-barang Keluarga
Hubungan kekeluargaan di dalam somah (suami, isteri, anak-anak) menyebabkan adanya perbedaan hak mewaris terhadap barang-barang somah bagi anak-anak dari perkawinan pertama bagi anak-anak dari perkawinan kedua, ketiga dan seterusnya.
Anak-anak dari perkawinan pertama berhak mewariskan barang-barang yang diperoleh dalam masa perkawinan pertama sedangkan anak-anak dari perkawinan kedua tidak mempunyai hak itu. Ketentuan inilah yang menyebabkan orang-orang di Sulawesi Selatan (muna) “berkat barang-barang somah yang satu tidak boleh berpindah pada somah yang lain”.

2.4. Pewaris dan Ahli Waris
            Pewaris adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta kekayaan.
Ahli waris yaitu orang yang menggantikan kedudukan pewaris daam bidang hukum kekayaan, karena meninggalnya si pewaris dan berhak menerima harta peninggalan pewaris. anggota keluarga yang memiliki hak atas harta peninggalan seorang yang meninggal dunia, yaitu :
  • Laki-laki :
    1. Anak laki-laki
    2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki
    3. Ayah
    4. Kakek / ayahnya ayah
    5. Saudara kandung
    6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki
    7. Suami
    8. Paman
    9. Anak dari paman laki-laki
    10. Laki-laki yang memerdekakan budak
  • Perempuan :
    1. Anak perempuan
    2. Cucu perempuan dari anak laki-laki
    3. Ibu
    4. Nenek
    5. Saudari kandung
    6. Istri
    7. Wanita yang memerdekakan budak
2.5.  Pewarisan
     Pewarisan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh pewaris untuk memberikan harta warisannya kepada ahli waris. Pembagian harta peninggalan adalah merupakan suatu perbuatan daripada para akhli waris bersama-sama. Serta pembagian itu diselenggarakan dengan permufakatan atau atas kehendak bersama daripada para akhli waris.
Apabila harta peninggalan dibagi-bagi antara para ahli waris maka pembagian itu biasanya berjalan secara rukun di dalam suasana ramah tamah dengan memperhatikan keadaan istimewa dari tiap-tiap waris. Pembagian berjalan atas dasar kerukunan.
Didalam menjalankan kerukunan itu semua pihak mengetahui haknya masing-masing menurut hokum sehingga mereka mengetahui juga apabila ada pembagian yang menyimpang serta seberapa jauh penyimpangan tersebut dari peraturan-peraturan hukum. Atas persetujuan semua pihak tiap pembagian yang menyimpang dari peraturan hokum dapat diselenggarakan dan melaksanakannya mengikat semua pihak yang telah bersepakat itu.
Pembagian harta peninggalan yang dijalankan atas dasar kerukunan biasanya terjadi dengan penuh pengetahuan bahwa semua anak baik laki-laki maupun perempuan pada dasarnya mempunyai hak yang sama atas harta peninggalan orang tuanya. Perbedaan agama adalah tidak merupakan soal bukan soal pula siapa yang lahir lebih dahulu. Apabila ternyata tidak terdapat permufakatan dalam penyelenggaraan pembiayaan harta peninggalan ini maka Hakim (Hakim Adat atau Hakim Perdamaian Desa atau Hakim Pengadilan Negeri) berwenang atas permohonan para akhli waris untuk menetapkan cara pembagiannya serta memimpin sendiri pelaksanaan pembagiannya.
Apabila keputusan hakim ini belum dapat memuaskan semua pihak bahkan ada beberapa pihak yang secara terang-terangan menyatakan kurang dapat menerima keputusan itu maka harta peninggalan itu dijual secara umum dan pendapatannya dibagi merata. Tetapi tindakan ini mengundang turut campurnya instansi yang biasanya dalam penyelenggaraan pewarisan demikian ini harus dicegah turut campurnya. Jikalau dalam pembagian harta peninggalan itu terjadi pengoperan sebidang tanah, maka pelaksanaan pengoperannya wajib dilakukan dengan bantuan Kepala Desa satu dan lain supaya menjadi terang dan sah.
Dalam hukum adat anak-anak dari sipeninggal warisan merupakan golongan akhli waris yang terpenting oleh karena mereka pada hakikatnya merupakan satu-satunya golongan akhli waris sebab lain-lain anggota keluarga tidak menjadi akhli waris apabila sipeninggal warisan meninggalkan anak-anak. Jadi dengan adanya anak-anak maka kemungkinan lain-lain anggota keluarga dari sipeninggal warisan untuk menjadi akhli waris menjadi tertutup. Sedangkan tentang pembagiannya menurut keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 1 Nopember 1961 Reg No. 179/K/Sip/1961 adalah:
“anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal warisan bersama berhak atas warisan dalam arti bahwa bagian anak laki-laki adalah sama dengan anak perempuan”.
Berdasarkan peraturan penggantian waris maka apabila anak-anaknya telah meninggal dunia semua maka cucu-cucu serta selanjutnya keturunan daripada cucu-cucu itu yang menutup kemungkinan warga keluarga kerabat lain-lainnya untuk menjadi akhli waris.
Ketentuan yang demikian ini memang sesuai dengan Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 18 Maret 1959 Reg No.391 K/Sip/1958 yang berbunyi sebagai berikut:
“Hak untuk mengisi atau menggantikan kedudukan seorang akhli waris yang lebih dahulu meninggal dunia daripada orang yang meninggalkan warisan ada pada keturunan dalam garis menurun”.
Dan masih banyak lagi keputusan-keputusan Mahkamah Agung terkait masalah hukum adat waris.
Uraian diatas hanya mengenai anak sendiri atau anak kandung saja, tetapi didalam masyarakat Indinesia tidak hanya dikenal anak kandung saja melainkan terdapat juga anak angkat, anak tiri dan disamping itu juga anak yang lahir diluar perkawinan.
a.      Anak yang Lahir diluar Perkawinan
Menurut hukum adat waris, anak yang lahir diluar perkawinan itu hanya menjadi waris didalam harta peninggalan kerabat ibunya saja serta juga didalam harta peninggalan kerabat ataupun family dari pihak ibunya. Seorang anak demikian menurut hokum di anggap fiksi, tidak mempunyai bapak dan oleh karenanya juga tidak memiliki hubungan kekeluargaan pihak bapak.

b.      Anak Angkat
Konsekuensi dalam beberapa Yurisprudensi adalah sebagai berikut :
a)      Putusan Landraad Purworejo tanggal 25 agustus 1937 barang pencarian dan barang gono-gini jatuh kepada janda dan anak angkat sedangkan barang asal kembali pada saudara-saudara peninggal harta jikalau yang meninggal itu tidak mempunya anak kandung.
b)      Putusan Raad Van Justitie Jakarta dahulu tanggal 24 mei 1940 menurut hukum adat jawa barat anak angkat berhak atas barang-barang gono-gini orang tua angkat yang telah meninggal jikalau tidak ada anak kandung atau turunan seterusnya.

Dalam kedua yurisprudensi tersebut diatas tampak dengan jelas di gambarkan kedudukan anak angkat sebagai anggota rumah tangga sedangkan ia bukan waris. Anak angkat berhak mendapatkan nafkah dari harta peninggalan orang tua angkatnya.

Kedudukan hukum anak angkat seperti dikemukakan oleh Prof. Djojodigoeno-Tirtawinata, diproleh anak angkat apabila orang tua yang mengangkat itu memandang dan mem[erlakukan anak itu sebagai anak keturunan sendiri baik lahir maupun bathin. Oleh karena itu sungguh tepatlah apa yang dianjurkan oleh Djojodigoeno-Tirtawinata pada halaman berikutnya yaitu:
“jangan menerima begitu saja kesimpulan bahwa anak angkat seperti halnya juga dengan anak sendiri menutup kemungkinan anggota kerabat lain-lain sebagai waris sebelum hal itu nyata-nyata dicocokkan sendiri dengan keadaan disetempat”.
c.       Anak Tiri
Anak tiri yang hidup bersama dalam satu rumah dengan ibu kandung dan bapak tiri atau sebaliknya adalah warga serumah tangga pula. Terhadap ibunya atau bapak kandungnya anak itu adalah akhli waris tetapi terhadap ibunya atau bapak tirinya anak itu bukan akhli waris melainkan hanya sebagai warga serumah tangga saja.

Hidup bersama dalam rumah tangga ini membawa hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara anggota yang satu terhadap anggota yang lain. Kadang-kadang pertalian rumah tangga antara bapak tiri dengan anak tiri yang hidup bersama dalam satu rumah tangga itu menjadi begitu eratnya hingga terjadi kenyataan-kenyataan bahwa seorang bapak tiri mengibahkan sebidang sawah kepada anak tirinya. Anak tiri tidak berhak atas warisan bapak tirinya tetapi ia ikut mendapat penghasilan dan bagian dari harta peninggalan bapak tiri yang diberikan kepada ibu kandungnya sebagai nafkah janda.

d.      Kedudukan Janda
Didalam rumah tangga suami-isteri, isteri itu setelah suaminya meninggal dunia mempunyai kedudukan yang khusus. Kalau yang dijadikan syarat bagi waris itu kekeluargaan berdasarkan atas persamaan darah atau keturunan maka sudah jelas sekali bahwa seorang janda itu tidak mungkin merupakan waris dari suaminya. Tetapi ada kenyataan juga bahwa dalam suatu perkawinan itu hubungan lahir bathin antara suami dan isteri itu dapat sedemikian eratnya sehingga jauh melebihi hubungan antara suami dengan saudara sekandungnya misalnya. Realitas inilah yang menyebabkan seorang janda itu dirasa adil apabila dalam hal warisan khususnya diberikan kedudukan yang istimewa serta pantas disamping kedudukan anak-anak sipeninggal warisan.

Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam keputusan tanggal 2 nopember 1960 Reg No. 302 K/SIP/1960 berkesimpulan sebagai berikut :
“Hukum di seluruh Indonesia perihal warisan mengenai seorang janda perempuan dapat dirumuskan sedemikian rupa bahwa seorang janda perempuan selalu merupakan akhli waris terhadap barang asal suaminya dalam arti bahwa sekurang-kurangnya dari barang asal itu sebagian harus tetap barada ditangan janda sepanjang perlu untuk hidup secara pantas sampai ia meninggal dunia atau kawin lagi, sedang dibeberapa daerah di Indonesia disamping penentuan ini mungkin dalam hal barang-barang warisan adalah berupa amat banyak kekayaan maka si janda perempuan berhak atas sebagian dari barang-barang warisan seperti seorang anak kandung dari sipeninggal warisan”.



e.       Ahli Waris Lainnya (selain anak dan janda)
Ahli waris-ahli waris lainnya ini baru berhak atas harta peninggalan apabila yang meninggal itu tidak mempunyai anak. Dengan memperhatikan adanya peraturan penggantian waris maka ketentuan dimuka tadi harus dibaca dan di artikan, bahwa apabila seorang anak lebih dahulu meninggal dunia daripada sipeninggal warisan dan anak tersebut meninggalkan anak-anak, maka cucu-cucu dari peninggal warisan itu menggantikan orang tuanya. Mereka bersama-sama berhak atas bagian dari harta peninggalan kakek-nenek mereka.



























BAB III
PENUTUP

3.1.Kesimpulan
3.1.1.  Pengertian Hukum Adat Waris
Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkn barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada turunannya.
3.1.2.  Sistem Kewarisan Adat
a.       Sistem Kolektif yaitu sistem kewarisan dimana para ahli waris mewarisi harta peninggalan pewaris secara bersama-sama (kolektif). Hal ini terjadi karena harta peninggalan yang diwarisi itu merupakan harta turun temurun dan tidak dapat dibagi pemilikannya kepada masing-masing ahli raris. Dengan kata lain, harta peninggalan itu tidak dapat dimiliki oleh seorang saja, melainkan harus dimiliki secara bersama-sama. Misalnya : harta pusaka di Minangkabau, tanah dati di Semenanjung Hitu (Ambon).
b.      Sistem Mayorat yaitu sistem kewarisan dimana harta peninggalan pewaris hanya diwarisi oleh seorang anak tertua. Sistem mayoret ini dapat dibagi atas 2 bagian yaitu,
1.      Mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua (keturunan laki-laki) yang ahli waris tunggal dari si pewaris. Misalnya pada masyarakat Lampung dan Bali
2.      Mayorat perempuan yaitu apabila anak perempuan tertua yang erupakan ahli waris tunggal dari si pewaris. Misalnya pada masyarakat suku Semendo di Sumatra Selatan, suku Dayak Landak dan suku Dayak Tayan di Kalimantan Barat (anak pangkalan).
c.       Sistem Individual, Berdasarkan prinsip sistem ini, maka setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Pada umumnya sistem ini dijalankan di masyarakat yang menganut sistem kemasyarakatan parental.


3.1.3.  Harta Warisan
Jenis-jenis harta warisan adalah sebagai berikut :
a.     Harta warisan yang tidak dapat dibagi-bagi
b.     Harta warisan yang dibagi-bagi

3.1.4.  Pewaris dan Ahli Waris
Pewaris adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta kekayaan. Ahli waris yaitu orang yang menggantikan kedudukan pewaris daam bidang hukum kekayaan, karena meninggalnya si pewaris dan berhak menerima harta peninggalan pewaris.

3.1.5.  Pewarisan
      Pewarisan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh pewaris untuk memberikan harta warisannya kepada ahli waris






           



                       



DAFTAR PUSTAKA

Simanjuntak, P.N.H. 1999.Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Djambatan
Setiady, Tolib. 2008. Intisari hukum adat indonesia. Bandung:Alfabeta
http://pranasmara.blogspot.com



By :
Free Blog Templates