BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Hukum
Adat Waris
Hukum adat waris memuat
peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkn
barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda dari
suatu angkatan manusia kepada turunannya. Sebelum mendalami hukum adat waris
terlebih dahulu dijelaskan tentang hukum adat dan hukum waris. Ada beberapa
pendapat para ahli yang memuat pengertian dari hukum adat yaitu :
1. Prof. Mr.
Cornelis van Vollenhoven,
hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang disatu pihak
mempunyai sanksi (hukum) dan dipihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasi
(adat). Tingkah laku positif memiliki makna hukum yang dinyatakan berlaku
disini dan sekarang. Sedangkan sanksi yang dimaksud adalah reaksi (konsekuensi)
dari pihak lain atas suatu pelanggaran terhadap norma (hukum). Sedang
kodifikasi dapat berarti sebagai berikut.
2. Ter
Haar hukum adat adalah
aturan-aturan yang mencakup seluruh peraturan-peraturan yang menjelma di dalam
keputusan-keputusan para pejabat hukum yang mempunyai kewibawaan dan pengaruh
3. Soejono
soekanto Hukum adat merupakan
hukum kebiasaan, namun kebiasaan yang mempunyai akibat hukum yang tegas.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat
disimpulkan bahwa hukum adat adalah keseluruhan kaidah-kaidah atau norma baik
tertulis maupun tidak tertulis yang berasal dari adat istiadat atau kebiasaan
masyarakat Indonesia untuk mengatur tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat,
terhadap yang melanggarnya dapat dijatuhi sanksi
Hukum
Waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah
meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga dan masyarakat
yang lebih berhak. Hukum Waris yang berlaku di Indonesia ada tiga yakni: Hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam
dan Hukum Waris Perdata. Setiap daerah memiliki hukum yang berbeda-beda sesuai
dengan sistem kekerababatan yang mereka anut.
Ada
beberapa pendapat mengenai pengertian hukum adat waris diantaranya :
1.
Prof. Dr. R. SOEPOMO, S.H., dalam bukunya
BAB-BAB TENTANG HUKUM ADAT merumuskan Hukum Adat Waris sebagai Hukum adat waris
memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta meng-over-kan
barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak terwujud benda
(immaterielle goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada
turunannya”.
2.
Prof. Mr. BAREND TER HAAR B.Zn., dalam bukunya
BEGINSELEN EN STELSEL VAN HET ADATRECHT merumuskan Hukum adat waris meliputi
peraturan-peraturan hukum yang bersangkutan dengan proses yang sangat
mengesankan serta yang akan selalu berjalan tentang penerusan dan peng-over-an
kekayaan materiil dan immaterial dari suatu generasi kepada generasi
berikutnya”.
3.
WIRJONO PRODJODIKORO, S.H., di dalam bukunya
HUKUM WARISAN DI INDONESIA memberikan
pengertian waris sebagai berikut: “warisan itu adalah soal apakah dan
bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada
waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”.
4.
Prof. H. HILMAN HADIKUSUMA, S.H., dalam
bukunya PENGANTAR ILMU HUKUM ADAT INDONESIA menyebutkan Hukum adat waris adalah
aturan-aturan hukum adat yang mengatur bagaimana harta peninggalan atau harta
warisan diteruskan atau dibagi-bagi dari pewaris kepada para waris dari
generasi ke generasi berikutnya.
Untuk
lebih memperjelas tentang pengertian Hukum Waris Adat dapat dilihat pada bagan
dibawah ini.

Pada dasarnya proses peralihannya atau
peng-overan-nya sendiri sudah dapat dimulai semasa pemilik harta kekayaan itu
sendiri masih hidup serta proses itu selanjutnya berjalan terus sehingga
keturunannya itu masing-masing menjadi keluarga-keluarga baru yang berdiri
sendiri (MENTAS atau MENCAR-Jawa) yang kelak pada waktunya mendapat giliran
juga untuk meneruskan proses tersebut kepada generasi (keturunannya) yang
berikutnya juga.
2.2. Sistem Kewarisan Adat
Hukum
Waris Adat mengatur proses penerusan dan peralihan harta, baik yang berwujud
maupun yang tidak berwujud dari pewaris pada waktu masih hidup dan atau setelah
meninggal dunia kepada ahli warisnya. Adapun sifat Hukum Waris Adat secara
global dapat diperbandingkan dengan sifat atau prinsip hukum waris yang berlaku
di Indonesia, di antaranya adalah :
- Harta warisan dalam sistem Hukum Adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak dapat terbagi atau dapat terbagi tetapi menurut jenis macamnya dan kepentingan para ahli waris; sedangkan menurut sistem hukum barat dan hukum Islam harta warisan dihitung sebagai kesatuan yang dapat dinilai dengan uang.
- Dalam Hukum Waris Adat tidak mengenal asas legitieme portie atau bagian mutlak, sebagaimana diatur dalam hukum waris barat dan hukum waris Islam.
- Hukum Waris Adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan segera dibagikan.
Prinsip garis
keturunan dalam hukum waris adat yaitu prinsip patrilinear, matrilinear, dan
prinsip bilateral atau parental. Berikut bagan tentang prinsip-prinsip hukum
waris

a.
Prinsip patrilinear, dalam prinsip ini, kedudukan dan pengaruh pihak
laki-laki dalam hukum waris adat sangat kuat. Misalnya, pada masyarakat Batak,
yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki saja
b. Prinsip
Matrilineal, kedudukan dan
pengaruh pihak perempuan dalam hukum waris adalah sangat kuat. Misalnya, pada
masyarakat Minangkabau, dimana yang menjadi ahli waris adalah anak perempuan.
c.
Prinsip bilateral atau parental, didalam prinsip ini, kedudukan anak laki-laki dan
kedudukan anak perempuan dalam hukum waris adat adalah sama dan sejajar.
Demikian, baik anak laki-laki maupun anak perempuan merupakan ahli waris dari
harta peninggalan orang tua mereka. Misalnya : para masyarakat Jawa dan
Kalimantan.
Berdasarkan ketentuan Hukum Adat pada
prinsipnya asas hukum waris itu penting , karena asas-asas yang ada selalu
dijadikan pegangan dalam penyelesaian pewarisan. Adapun berbagai asas itu di
antaranya seperti asas ketuhanan dan pengendalian diri, kesamaan dan
kebersamaan hak, kerukunan dan kekeluargaan, musyawarah dan mufakat,
serta keadilan dan parimirma. Jika dicermati berbagai asas tersebut
sangat sesuai dan jiwai oleh kelima sila yang termuat dalam dasar negara RI, yaitu
Pancasila. Disamping prinsip-prinsip garis
keturunan diatas, hukum waris adat mengenal adanya tiga sistem kewarisan,
diantaranya : sistem kolektif, mayorat dan individual. Berikut bagan tentang
sistem Pewarisan adat

- Sistem Kolektif yaitu sistem kewarisan dimana para ahli waris mewarisi harta peninggalan pewaris secara bersama-sama (kolektif). Hal ini terjadi karena harta peninggalan yang diwarisi itu merupakan harta turun temurun dan tidak dapat dibagi pemilikannya kepada masing-masing ahli raris. Dengan kata lain, harta peninggalan itu tidak dapat dimiliki oleh seorang saja, melainkan harus dimiliki secara bersama-sama. Misalnya : harta pusaka di Minangkabau, tanah dati di Semenanjung Hitu (Ambon).
- Sistem Mayorat yaitu sistem kewarisan dimana harta peninggalan pewaris hanya diwarisi oleh seorang anak tertua. Sistem mayoret ini dapat dibagi atas 2 bagian yaitu,
a. Mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua
(keturunan laki-laki) yang ahli waris tunggal dari si pewaris. Misalnya pada
masyarakat Lampung dan Bali
b.
Mayorat
perempuan yaitu apabila anak perempuan tertua yang erupakan ahli waris tunggal
dari si pewaris. Misalnya pada masyarakat suku Semendo di Sumatra Selatan, suku
Dayak Landak dan suku Dayak Tayan di Kalimantan Barat (anak pangkalan).
3.
Sistem Individual, Berdasarkan prinsip sistem ini, maka setiap ahli
waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing.
Pada umumnya sistem ini dijalankan di masyarakat yang menganut sistem
kemasyarakatan parental.
2.3. Harta Waris
Harta warisan adalah keseluruhan
harta kekayaan yang berupa aktiva dan pasiva yang ditinggalkan oleh si pewaris
setelah dikurangi dengan semua hutangnya. Perlu kiranya diperhatikan juga
bahwasanya harta peninggalan itu tidak selamanya terdiri atas bagian-bagian
yang menguntungkan para akhli waris saja tetapi kadang-kadang terdapat pula
bagian-bagian yang merupakan beban kepada para akhli waris yaitu “hutang
piutang” dari yang meninggal dunia yang masih belum dilunasi. Adapu jenis-jenis
harta warisan adalah
1.
Harta Peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi
Harta peninggalan yang tidak
dapat dibagi-bagi ini dapat dibedakan sebagai berikut :
a. Harta Pusaka Tinggi, yaitu harta turun temurun dari
beberapa generasi.pengurusannya dikuasai oleh Kepala Kesatuan Kerabat yang
terbesar yang disebut penghulu andiko
b. Harta pusaka rendah, yaitu harta yang turun-temurun
dari suatu generasi, kadang-kadang harta ini disebut juga dengan harta sako.
Misalnya, bilamana ada seorang perempuan yang meninggal dunia kemudian
meninggalkan sepetak sawah, maka sawah tersebut tidak dapat dibagi-bagi oleh
pewarisnya
c. Harta pencaharian, yaitu harta yang diperoleh dari
hasil usaha sendiri.
2.
Harta Peninggalan yang Dibagi-bagi
Pembagian
harta peninggalan adalah suatu perbuatan daripada para ahli waris secara
bersama-sama. Pada masyarakat hukum adat bilateral biasanya harta warisan
dibagi pada ahli warisnya. Anak laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang
sama atas suatu harta peninggalan.sistem ini paling banyak dianut oleh banyak
daerah adat di Indonesia. Seperti, Jawa, Madura, Sumatra Selatan, Aceh,
Kalimantan, Sulawesi, dan lain-lain. Berikut bagai tentang macam-macam harta
warisan

Selain
dari jenis-jenis harta warisan diatas secara khusus jenis-jenis barang-barang
warisan adalah sebagai berikut :
a. Barang-barang
Kerabat atau Family
Barang-barang ini biasanya dibawa
kedalam harta kekayaan keluarga oleh isteri atau suami sebagai barang asal yang
diperolehnya secara warisan dari orang tuanya dan orang tuanya ini memperoleh
barang-barang itu dulu juga secara warisan dan begitu seterusnya, pokoknya
barang-barang itu sudah turun temurun menjadi barang warisan.
Apabila sipeninggal warisan tidak
mempunyai anak maka barang-barang family demikian ini, kembali lagi kepada
family yang bersangkutan artinya barang asal dari family suami kembali kepada
family suami dan barang asal dari family isteri kembali kepada family isteri.
Adapun maksud dari ketentuan ini adalah
agar supaya barang-barang itu tetap menjadi harta milik family yang
bersangkutan dan tidak hilang, artinya berpindah menjadi milik family lain.
Kalau ada anak maka barang-barang dimaksud akan diwaris oleh anak-anak
tersebut.
b. Barang-barang
Pusaka yang Keramat
Barang-barang pusaka yang keramat
seperti keris, tumbak, rencong dan lain sebagainya yang di anggap dapat membawa
kebahagiaan kepada keluarga tidak boleh disamakan dengan barang-barang biasa
rumah tangga lain-lainnya. Barang-barang
keramat ini kadang-kadang terikat kepada kualitas yang memegangnya misalnya barang-barang
keramat dari Keraton Kasepuhan di Cirebon akan tetapi selalu diwaris oleh yang
akan mengganti menjadi Sultas Sepuh.
c. Barang-barang
Somah atau Barang-barang Keluarga
Hubungan kekeluargaan di dalam somah
(suami, isteri, anak-anak) menyebabkan adanya perbedaan hak mewaris terhadap
barang-barang somah bagi anak-anak dari perkawinan pertama bagi anak-anak dari
perkawinan kedua, ketiga dan seterusnya.
Anak-anak dari perkawinan pertama berhak
mewariskan barang-barang yang diperoleh dalam masa perkawinan pertama sedangkan
anak-anak dari perkawinan kedua tidak mempunyai hak itu. Ketentuan inilah yang
menyebabkan orang-orang di Sulawesi Selatan (muna) “berkat barang-barang somah
yang satu tidak boleh berpindah pada somah yang lain”.
2.4.
Pewaris dan Ahli Waris
Pewaris
adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta kekayaan.
Ahli waris yaitu orang yang
menggantikan kedudukan pewaris daam bidang hukum kekayaan, karena meninggalnya
si pewaris dan berhak menerima harta peninggalan pewaris. anggota keluarga yang memiliki hak atas harta
peninggalan seorang yang meninggal dunia, yaitu :
- Laki-laki :
- Anak laki-laki
- Cucu laki-laki dari anak laki-laki
- Ayah
- Kakek / ayahnya ayah
- Saudara kandung
- Anak laki-laki dari saudara laki-laki
- Suami
- Paman
- Anak dari paman laki-laki
- Laki-laki yang memerdekakan budak
- Perempuan :
- Anak perempuan
- Cucu perempuan dari anak laki-laki
- Ibu
- Nenek
- Saudari kandung
- Istri
- Wanita yang memerdekakan budak
2.5. Pewarisan
Pewarisan
adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh pewaris untuk memberikan harta
warisannya kepada ahli waris. Pembagian harta peninggalan
adalah merupakan suatu perbuatan daripada para akhli waris bersama-sama. Serta
pembagian itu diselenggarakan dengan permufakatan atau atas kehendak bersama
daripada para akhli waris.
Apabila harta peninggalan dibagi-bagi antara para ahli waris maka
pembagian itu biasanya berjalan secara rukun di dalam suasana ramah tamah
dengan memperhatikan keadaan istimewa dari tiap-tiap waris. Pembagian berjalan
atas dasar kerukunan.
Didalam menjalankan kerukunan itu semua pihak mengetahui haknya
masing-masing menurut hokum sehingga mereka mengetahui juga apabila ada
pembagian yang menyimpang serta seberapa jauh penyimpangan tersebut dari
peraturan-peraturan hukum. Atas persetujuan semua pihak tiap pembagian yang
menyimpang dari peraturan hokum dapat diselenggarakan dan melaksanakannya
mengikat semua pihak yang telah bersepakat itu.
Pembagian harta peninggalan yang dijalankan atas dasar kerukunan
biasanya terjadi dengan penuh pengetahuan bahwa semua anak baik laki-laki
maupun perempuan pada dasarnya mempunyai hak yang sama atas harta peninggalan
orang tuanya. Perbedaan agama adalah tidak merupakan soal bukan soal pula siapa
yang lahir lebih dahulu. Apabila ternyata tidak terdapat permufakatan dalam
penyelenggaraan pembiayaan harta peninggalan ini maka Hakim (Hakim Adat atau
Hakim Perdamaian Desa atau Hakim Pengadilan Negeri) berwenang atas permohonan
para akhli waris untuk menetapkan cara pembagiannya serta memimpin sendiri
pelaksanaan pembagiannya.
Apabila keputusan hakim ini belum dapat memuaskan semua pihak bahkan
ada beberapa pihak yang secara terang-terangan menyatakan kurang dapat menerima
keputusan itu maka harta peninggalan itu dijual secara umum dan pendapatannya
dibagi merata. Tetapi tindakan ini mengundang turut campurnya instansi yang
biasanya dalam penyelenggaraan pewarisan demikian ini harus dicegah turut
campurnya. Jikalau dalam pembagian harta peninggalan itu terjadi pengoperan
sebidang tanah, maka pelaksanaan pengoperannya wajib dilakukan dengan bantuan
Kepala Desa satu dan lain supaya menjadi terang dan sah.
Dalam hukum adat anak-anak dari sipeninggal warisan merupakan golongan
akhli waris yang terpenting oleh karena mereka pada hakikatnya merupakan
satu-satunya golongan akhli waris sebab lain-lain anggota keluarga tidak
menjadi akhli waris apabila sipeninggal warisan meninggalkan anak-anak. Jadi
dengan adanya anak-anak maka kemungkinan lain-lain anggota keluarga dari
sipeninggal warisan untuk menjadi akhli waris menjadi tertutup. Sedangkan
tentang pembagiannya menurut keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 1 Nopember 1961
Reg No. 179/K/Sip/1961 adalah:
“anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal
warisan bersama berhak atas warisan dalam arti bahwa bagian anak laki-laki
adalah sama dengan anak perempuan”.
Berdasarkan peraturan penggantian waris maka apabila anak-anaknya telah
meninggal dunia semua maka cucu-cucu serta selanjutnya keturunan daripada
cucu-cucu itu yang menutup kemungkinan warga keluarga kerabat lain-lainnya
untuk menjadi akhli waris.
Ketentuan yang demikian ini memang sesuai dengan Keputusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia tanggal 18 Maret 1959 Reg No.391 K/Sip/1958 yang
berbunyi sebagai berikut:
“Hak untuk mengisi atau menggantikan kedudukan seorang
akhli waris yang lebih dahulu meninggal dunia daripada orang yang meninggalkan
warisan ada pada keturunan dalam garis menurun”.
Dan masih banyak lagi keputusan-keputusan Mahkamah Agung terkait
masalah hukum adat waris.
Uraian diatas hanya mengenai anak sendiri atau anak kandung saja,
tetapi didalam masyarakat Indinesia tidak hanya dikenal anak kandung saja
melainkan terdapat juga anak angkat, anak tiri dan disamping itu juga anak yang
lahir diluar perkawinan.
a. Anak
yang Lahir diluar Perkawinan
Menurut hukum adat waris, anak yang lahir
diluar perkawinan itu hanya menjadi waris didalam harta peninggalan kerabat
ibunya saja serta juga didalam harta peninggalan kerabat ataupun family dari
pihak ibunya. Seorang anak demikian menurut hokum di anggap fiksi, tidak
mempunyai bapak dan oleh karenanya juga tidak memiliki hubungan kekeluargaan
pihak bapak.
b. Anak
Angkat
Konsekuensi dalam beberapa Yurisprudensi
adalah sebagai berikut :
a) Putusan
Landraad Purworejo
tanggal 25 agustus 1937 barang pencarian dan barang gono-gini jatuh kepada
janda dan anak angkat sedangkan barang asal kembali pada saudara-saudara
peninggal harta jikalau yang meninggal itu tidak mempunya anak kandung.
b) Putusan
Raad Van Justitie Jakarta dahulu tanggal 24 mei 1940 menurut hukum adat jawa
barat anak angkat berhak atas barang-barang gono-gini orang tua angkat yang
telah meninggal jikalau tidak ada anak kandung atau turunan seterusnya.
Dalam kedua yurisprudensi tersebut
diatas tampak dengan jelas di gambarkan kedudukan anak angkat sebagai anggota
rumah tangga sedangkan ia bukan waris. Anak angkat berhak mendapatkan nafkah
dari harta peninggalan orang tua angkatnya.
Kedudukan hukum anak angkat seperti
dikemukakan oleh Prof. Djojodigoeno-Tirtawinata, diproleh anak angkat apabila
orang tua yang mengangkat itu memandang dan mem[erlakukan anak itu sebagai anak
keturunan sendiri baik lahir maupun bathin. Oleh karena itu sungguh tepatlah
apa yang dianjurkan oleh Djojodigoeno-Tirtawinata pada halaman berikutnya
yaitu:
“jangan menerima begitu saja kesimpulan bahwa anak angkat
seperti halnya juga dengan anak sendiri menutup kemungkinan anggota kerabat
lain-lain sebagai waris sebelum hal itu nyata-nyata dicocokkan sendiri dengan
keadaan disetempat”.
c. Anak
Tiri
Anak tiri yang hidup bersama dalam satu
rumah dengan ibu kandung dan bapak tiri atau sebaliknya adalah warga serumah
tangga pula. Terhadap ibunya atau bapak kandungnya anak itu adalah akhli waris
tetapi terhadap ibunya atau bapak tirinya anak itu bukan akhli waris melainkan
hanya sebagai warga serumah tangga saja.
Hidup bersama dalam rumah tangga ini
membawa hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara anggota yang satu terhadap
anggota yang lain. Kadang-kadang pertalian rumah tangga antara bapak tiri
dengan anak tiri yang hidup bersama dalam satu rumah tangga itu menjadi begitu
eratnya hingga terjadi kenyataan-kenyataan bahwa seorang bapak tiri mengibahkan
sebidang sawah kepada anak tirinya. Anak tiri tidak berhak atas warisan bapak
tirinya tetapi ia ikut mendapat penghasilan dan bagian dari harta peninggalan
bapak tiri yang diberikan kepada ibu kandungnya sebagai nafkah janda.
d. Kedudukan
Janda
Didalam rumah tangga suami-isteri,
isteri itu setelah suaminya meninggal dunia mempunyai kedudukan yang khusus.
Kalau yang dijadikan syarat bagi waris itu kekeluargaan berdasarkan atas
persamaan darah atau keturunan maka sudah jelas sekali bahwa seorang janda itu
tidak mungkin merupakan waris dari suaminya. Tetapi ada kenyataan juga bahwa
dalam suatu perkawinan itu hubungan lahir bathin antara suami dan isteri itu
dapat sedemikian eratnya sehingga jauh melebihi hubungan antara suami dengan
saudara sekandungnya misalnya. Realitas inilah yang menyebabkan seorang janda
itu dirasa adil apabila dalam hal warisan khususnya diberikan kedudukan yang
istimewa serta pantas disamping kedudukan anak-anak sipeninggal warisan.
Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam
keputusan tanggal 2 nopember 1960 Reg No. 302 K/SIP/1960 berkesimpulan sebagai
berikut :
“Hukum
di seluruh Indonesia perihal warisan mengenai seorang janda perempuan dapat
dirumuskan sedemikian rupa bahwa seorang janda perempuan selalu merupakan akhli
waris terhadap barang asal suaminya dalam arti bahwa sekurang-kurangnya dari
barang asal itu sebagian harus tetap barada ditangan janda sepanjang perlu
untuk hidup secara pantas sampai ia meninggal dunia atau kawin lagi, sedang
dibeberapa daerah di Indonesia disamping penentuan ini mungkin dalam hal
barang-barang warisan adalah berupa amat banyak kekayaan maka si janda
perempuan berhak atas sebagian dari barang-barang warisan seperti seorang anak
kandung dari sipeninggal warisan”.
e. Ahli
Waris Lainnya (selain anak dan janda)
Ahli waris-ahli waris lainnya ini baru
berhak atas harta peninggalan apabila yang meninggal itu tidak mempunyai anak.
Dengan memperhatikan adanya peraturan penggantian waris maka ketentuan dimuka
tadi harus dibaca dan di artikan, bahwa apabila seorang anak lebih dahulu
meninggal dunia daripada sipeninggal warisan dan anak tersebut meninggalkan
anak-anak, maka cucu-cucu dari peninggal warisan itu menggantikan orang tuanya.
Mereka bersama-sama berhak atas bagian dari harta peninggalan kakek-nenek
mereka.
BAB
III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
3.1.1. Pengertian Hukum Adat Waris
Hukum adat waris memuat
peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkn
barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda dari
suatu angkatan manusia kepada turunannya.
3.1.2. Sistem
Kewarisan Adat
a. Sistem Kolektif yaitu sistem kewarisan dimana para
ahli waris mewarisi harta peninggalan pewaris secara bersama-sama (kolektif).
Hal ini terjadi karena harta peninggalan yang diwarisi itu merupakan harta
turun temurun dan tidak dapat dibagi pemilikannya kepada masing-masing ahli
raris. Dengan kata lain, harta peninggalan itu tidak dapat dimiliki oleh
seorang saja, melainkan harus dimiliki secara bersama-sama. Misalnya : harta pusaka di Minangkabau, tanah dati di Semenanjung Hitu (Ambon).
b. Sistem Mayorat yaitu sistem kewarisan dimana harta
peninggalan pewaris hanya diwarisi oleh seorang anak tertua. Sistem mayoret ini
dapat dibagi atas 2 bagian yaitu,
1. Mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua
(keturunan laki-laki) yang ahli waris tunggal dari si pewaris. Misalnya pada
masyarakat Lampung dan Bali
2. Mayorat perempuan yaitu apabila anak perempuan tertua
yang erupakan ahli waris tunggal dari si pewaris. Misalnya pada masyarakat suku
Semendo di Sumatra Selatan, suku Dayak Landak dan suku Dayak Tayan di
Kalimantan Barat (anak pangkalan).
c. Sistem Individual, Berdasarkan prinsip sistem ini,
maka setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut
bagiannya masing-masing. Pada umumnya sistem ini dijalankan di masyarakat yang
menganut sistem kemasyarakatan parental.
3.1.3.
Harta
Warisan
Jenis-jenis harta warisan adalah sebagai
berikut :
a. Harta
warisan yang tidak dapat dibagi-bagi
b. Harta
warisan yang dibagi-bagi
3.1.4.
Pewaris
dan Ahli Waris
Pewaris
adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta kekayaan. Ahli waris
yaitu orang yang menggantikan kedudukan pewaris daam bidang hukum kekayaan,
karena meninggalnya si pewaris dan berhak menerima harta peninggalan pewaris.
3.1.5.
Pewarisan
Pewarisan adalah suatu tindakan yang
dilakukan oleh pewaris untuk memberikan harta warisannya kepada ahli waris
DAFTAR
PUSTAKA
Simanjuntak, P.N.H. 1999.Pokok-Pokok
Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Djambatan
Setiady, Tolib. 2008. Intisari
hukum adat indonesia. Bandung:Alfabeta
http://pranasmara.blogspot.com

